Minggu, 27 Februari 2011

Privasi (Personal Space)

Privasi adalah salah satu konsep dari gejala persepsi manusia terhadap lingkungannya, dimana konsep ini amat dekat dengan konsep ruang personal dan teritorialitas.
Privasi merupakan tingkatan interaksi atau keterbukaan yang dikehendaki seseorang pada suatu kondisi atau situasi tertentu. Tingkatan privasi yang diinginkan menyangkut keterbukaan atau ketertutupan , yaitu adanya keinginan untuk berinteraksi dengan orang lain atau justru ingin menghindar atau berusaha supaya sukar di capai orang lain. (Dibyo Hartono, 1986)
Psikologi mengartikan ‘privacy’ sebagai kebebasan pribadi untuk memilih apa yang akan di sampaikan. Dengan perkataan lain, ‘privacy’ dalam psikologi belum tentusampaikan atau dikomunikasikan tentang dirinya sendiri dan kepada siapa akan disampaikan akan tercipta hanya dengan adanya batasan-batasan fisik saja. Psikologipun mengklasifikasikan ‘privacy’ ini menjadi: ‘solitude’ yang berarti kesunyian, ‘intimacy’ atau keintiman, ‘anonymity’ atau tanpa identitas, dan ‘reserve’ yang berarti kesendirian.

Privacy memiliki 2 jenis penggolongan,
1. Golongan yang berkeinginan untuk tidak diganggu secara fisik.
a. Keinginan untuk menyendiri (solitude)
Misalnya ketika seseorang sedang dalam keadaan sedih dia tidak ingin di ganggu oleh siapapun.
b. Keinginan untuk menjauhkan dari pandangan atau gangguan suara tetangga / lalu lintas (seclusion)
Misalnya saat seseorang ingin menenangkan pikirannya , ia pergi ke daerah pegunungan untuk menjauhkan diri dari keramaian kota.
c. Keinginan untuk intim dengan orang-orang tertentu saja, tetapi jauh dari semua orang (intimacy)
Misalnya orang yang pergi ke daerah puncak bersama orang-orang terdekat seperti keluarga.

2. Golongan yang berkeinginan untuk menjaga kerahasiaan diri sendiri yang berwujud dalam tingkah laku hanya memberi informasi yang dianggap perlu.
a. Keinginan untuk merahasiakan jati diri (anaonimity)
b. Keinginan untuk tidak mengungkapkn diri terlalu banyak kepada orang lain (reserve)
c. Keinginan untuk tidak terlibat dengan tetangga (not neighboring)
Dalam hubungannya dengan orang lain, manusia memiliki referensi tingkat privasi yang diinginkannya. Ada saat-saat dimana seseorang ingin berinteraksi dengan orang lain (privasi rendah) dan ada saat-saat dimana ia ingin menyendiri dan terpisah dari orang lain (privasi tunggu). Untuk mencapai hal itu, ia akan mengkontrol dan mengatur melalui suatu mekanisme perilaku.
A. Perilaku Verbal
Perilaku diamana dengan cara mengatakan kepada orang lain secara verbal,sejauh mana orang lain boleh berhubungan dengannya.misalnya dengan berkata, “maaf, saya tidak punya waktu”
B. Perilaku non verbal
Perilaku ini dilakukan dengan menunjukan ekspresi wajah atau gerakan tubuh tertentu sebagai tanda senang atau tidak senang.
C. Mekanisme Kultural
Biasanya berkaitan dengan adat istiadat, aturan atau norma yang menggambarkan keterbukaan atau ketertutupan kepada orang lain.
D. Ruang Personal
Ruang personal adalah salah satu mekanisme perilaku untuk mencapai tingkat privasi tertentu.
Beberapa karakterisitik ruang personal menurut Sommer (dalam altman,1975),
pertama, batas diri yang tidak boleh dimasuki oleh orang lain. Kedua, ruang personal itu tidak berupa pagar yang tampak mengelilingi seseorang dan terlerak di suatu tempat tetapi batas itu melekat pada diri dan dibawa kemana-mana. Ketiga, ruang personal adalah batas kawasan yang dinamis, yang berubah-ubah besarnya sesuai dengan waktu dan situasi. Keempat, pelanggaran ruang personal ini akan dirasakan sebagai ancaman sehingga daerah ini dikontrol dengan kuat.

Personal space/ruang pribadi adalah kawasan sekitarnya seseorang yang mereka anggap sebagai psikologis mereka. Invasi ruang pribadi sering menyebabkan ketidaknyamanan, kemarahan, atau kecemasan pada pihak korban. (Edward T. Hall , yang gagasannya dipengaruhi oleh Heini Hediger)

Ruang pribadi Seseorang (dan sesuai zona kenyamanan ) adalah sangat bervariasi dan sulit untuk mengukur secara akurat. Perkiraan tempat itu sekitar 24,5 inci (60 cm) di kedua sisinya, 27,5 inci (70 cm) di depan dan 15,75 inci (40 cm) di belakang untuk orang Barat rata-rata.


Ruang pribadi adalah sangat bervariasi. Mereka tinggal di sebuah tempat yang berpenduduk padat cenderung memiliki ruang pribadi yang lebih kecil.Warga India cenderung memiliki ruang pribadi lebih kecil daripada di Mongolia padang rumput, baik dalam hal rumah dan individu. Untuk contoh yang lebih rinci, lihat kontak Tubuh dan ruang pribadi di Amerika Serikat.
Ruang pribadi telah berubah historis bersama dengan batas-batas publik dan swasta dalam budaya Eropa sejak Kekaisaran Romawi. Topik ini telah dieksplorasi dalam A History of Private Life, di bawah redaktur umum Philippe Aries dan Georges Duby, diterbitkan dalam bahasa Inggris oleh Belknap Press.
ruang pribadi adalah juga dipengaruhi oleh posisi seseorang dalam masyarakat dengan individu-individu lebih makmur menuntut ruang pribadi yang lebih besar. Orang membuat pengecualian terhadap, dan memodifikasi persyaratan ruang mereka. Misalnya dalam pertemuan romantis tegangan dari jarak dekat yang memungkinkan ruang pribadi dapat ditafsirkan kembali ke semangat emosional. Selain itu, sejumlah hubungan memungkinkan untuk ruang pribadi untuk dimodifikasi dan ini termasuk hubungan keluarga, mitra romantis, persahabatan dan kenalan dekat di mana tingkat yang lebih besar dari kepercayaan dan pengetahuan seseorang memungkinkan ruang pribadi harus dimodifikasi.

http://andraselalutertawa.blogspot.com/2010/04/privasi-personal-space-dan-teritorial.html

TERITORIALITAS

Holahan (dalam Iskandar, 1990), mengungkapkan bahwa teritorialitas adalah suatu tingkah laku yang diasosiasikan pemilikan atau tempat yang ditempatinya atau area yang sering melibatkan cirri pemiliknya dan pertahanan dari serangan orang lain. Degan demikian menurut Altman (1975) penghuni tempat tersebut dapat mengontrol daerahnya atau unitnya dengan benar, atau merupakan suatu territorial primer.
Menurut Lang (1987), terdapat empat karakter dari territorialitas, yaitu :
1. Kepemilikan atau hak dari suatu tempat
2. Personalisasi atau penandaan dari suatu area tertentu
3. Hak untuk mempertahankan diri dari ganggunan luar
4. Pengatur dari beberapa fungsi, mulai dari bertemunya kebutuhan dasra psikologis sampai kepada kepuasan kognitif dan kebutuhan-kebutuhan estetika
Menurut Altman (1975), territorial bukan hanya alat untuk menciptakan privasi saja, melainkan berfungsi pula sebagai alat untuk menjaga keseimbangan hubungan social. Altman juga membagi territorialitas menjadi tiga, yaitu :
1. Territorial Primer
Jenis tritori ini dimiliki serta dipergunakan secara khusus bagi pemiliknya. Pelanggaran terhadap teritori uatam ini akan mengakibatkantimbulnya perlawanan dari pemiliknya karena menyangkut masalah serius terhadap aspek psikologis pemiliknya, yaitu dalam hal harga diri dan identitasnya.
2. Territorial Sekunder
Jenis teritori ini lebih longgar pemakaiannya dan pengontrolan oleh perorangan. Territorial ini juga dapat digunakan oleh orang lain yang masih di dalam kelompok ataupun orang yang mempunyai kepentingan kepada kelompok itu. Sifat teritori sekunder adalah semi-publik.
3. Territorial Umum
Territorial umum dapat digunakan oleh setiap orang dengan mengikuti aturan-aturan yang lazim di dalam masyarakat dimana territorial umum itu berada. Territorial umum dapat dipergunakan secara sementara dalam jangka waktu lama maupun singkat.
Apa perbedaan ruang personal dengan teritorialitas? Seperti pendapat Sommer dan de War (1963), bahwa ruang personal dibawa kemanapun seseorang pergi, sedangkan teritori memiliki implikasi tertentu yang secara geografis merupakan daerah yang tidak berubah-ubah

http://alamanda-linda.blogspot.com/2010/04/teritorialitas.html

RUANG PERSONAL

Edwad Hall, seorang peneliti di bidang ruang personal, membagi jarak antar personal ke dalam 8 bagian. Menurutnya terjadi gradasi jarak berdasarkan tingkat keakraban antar personal. Kedelapan jarak tersebut dikelompokkan ke dalam empat jarak utama, yaitu:
1. Jarak Intim
a. Jarak Intim Dekat (0-6 inchi atau 0-15 cm), yaitu jarak yang muncul pada kondisi memeluk, menenangkan, percintaan, pergulatan (olahraga) atau kontak penuh dengan orang lain. Orang-orang tidak hanya berinteraksi pada situasi intim, atau melakukan kegiatan berdasarkan peraturan (gulat), tapi juga bisa terjadi pada kondisi emosi negatif (mis: manajer bola basket yang bertengkar dengan wasit).
b. Jarak Intimm Jauh (6-18 inc atau 15-45 cm), mewakili hubungan yang cukup erat, misalnya seseorang yang membisikan sesuatu ke temannya,
2. Jarak Personal
a. Jarak Personal Dekat (18-30 inc atau 45-75 cm), yang berlaku bagi orang-orang yang saling mengenal satu sama lain dalam konteks yang positif. Biasanya diwakili oleh orang yang saling berteman atau pasangan yang sedang berbahagia.
b. Jarak Personal Jauh (75 cm-1,2 m), adalah jarak yang digunakan oleh orang-orang yang berteman tapi tidak saling akrab. Biasanya jika kita menjumpai dua orang yang bercakap pada jarak ini maka hampir bisa dipastikan bahwa mereka adalah berteman tapi tidak saling akrab,
3. Jarak Sosial
a. Jarak Sosial Dekat (1,2 – 2 m), terjadi pada situasi ketika kita diperkenalkan kepada kawan ibu kita ketika bertemu di super market,
b. Jarak Sosial Jauh (2-3,5 m), umumnya terjadi ketika melakukan transaksi bisnis resmi. Pada situasi ini sangat kecil atau sama sekali tidak ada suasana pertemanan, karena biasanya masing-masing perusahaan mengutus wakil untuk berinteraksi,
4. Jarak Publik
a. Jarak Publik Dekat (3,5-7 m), biasanya digunakan oleh seorang dosen yang mengajar kelas theater yang terdiri dari ratusan murid di mana jika berbicara harus dari jarak yang tepat sehingga suaranya terdengar di seluruh penjuru ruangan. Jika kita berbicara kepada 30-40 orang, kira-kira jarak inilah yang umum kita pakai agar suara kita bisa terdengar jelas oleh masing-masing orang,
b. Jarak Publik Jauh (7 m atau lebih), biasanya jarak yang disediakan jika ada interaksi masyarakat umum dengan seorang tokoh penting.
ada beberapa unsur yang mempengaruhi jarak Ruang Personal seseorang, yaitu:
1. Jenis Kelamin
Umumnya laki-laki memiliki ruang yang lebih besar, walaupun demikian faktor jenis kelamin bukanlah faktor yang berdiri sendiri,
2. Umur
Makin bertambah usia seseorang, makin besar ruang personalnya, ini ada kaitannya dengan kemandirian. Pada saat bayi, hampir tidak ada kemampuan untuk menetapkan jarak karena tingkat ketergantungan yang makin tinggi. Pada usia 18 bulan, bayi sudah mulai bisa memutuskan ruang personalnya tergantung pada orang dan situasi. Ketika berumur 12 tahun, seorang anak sudah menerapkan RP seperti yang dilakukan orang dewasa.
3. Kepribadian,
Orang-orang yang berkepribadian terbuka, ramah atau cepat akrab biasanya memiliki RP yang lebih kecil. Demikian halnya dengan orang-orang yang lebih mandiri lebih memilih ruang personal yang lebih kecil. Sebaliknya si pencemas akan lebih mengambil jarak dengan orang lain, demikian halnya dengan orang yang bersifat kompetitif dan terburu-buru.
4. Gangguan Psikologi atau Kekerasan
Orang yang mempunyai masalah kejiwaan punya aturan sendiri tentang RP ini. Sebuah penelitian pada pengidap skizoprenia memperlihatkan bahwa kadang-kadang mereka membuat jarak yang besar dengan orang lain, tetapi di saat lain justru menjadi sangat dekat
5. Kondisi Kecacatan
Beberapa penelitian memperlihatkan adanya hubungan antara kondisi kecatatan dengan RP yang diterapkan. Beberapa anak autis memilih jarak lebih dekat ke orang tuanya, sedangkan anak-anak dengan tipe autis tidak aktif, anak hiperaktif dan terbelakang mental memilih untuk menjaga jarak dengan orang dewasa.
6. Ketertarikan
Ketertarikan, keakraban dan persahabatan membawa pada kondisi perasaan positif dan negatif antara satu orang dengan orang lain. Namun yang paling umum adalah kita biasanya akan mendekati sesuatu jika tertarik. Dua sahabat akan berdiri pada jarak yang berdekatan dibanding dua orang yang saling asing. Sepasang suami istri akan duduk saling berdekatan dibanding sepasang laki-laki dan perempuan yang kebetulan menduduki bangku yang sama di sebuah taman.
7. Rasa Aman/Ketakutan
Kita tidak keberatan berdekatan dengan seseorang jika merasa aman dan sebaliknya. Kadang ketakutan tersebut berasal dari stigma yang salah pada pihak-pihak tertentu,misalnya kita sering kali menjauh ketika berpapasan dengan orang cacat, atau orang yang terbelakang mental atau bahkan orang gemuk. Mungkin rasa tidak nyaman tersebut muncul karena faktor ketidakbiasaan dan adanya sesuatu yang berbeda.
8. Persaingan/Kerjasama
Pada situasi berkompetisi, orang cenderung mengambil posisi saling berhadapan, sedangkan pada kondisi bekerjasama kita cenderung mengambil posisi saling bersisian. Tapi bisa juga sebaliknya, sepasang kekasih akan duduk berhadapan di ketika makan di restoran yang romantis,sedangkan dua orang pria yang duduk berdampingan di meja bar justru dalam kondisi saling bersaing mendapatkan perhatian seorang wanita yang baru masuk.
9. Kekuasaan dan Status
Makin besar perbedaan status makin besar pula jarak antar personalnya.
10. Pengaruh Lingkungan Fisik
Ruang personal juga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan fisik. Di ruang dengan cahaya redup orang akan nyaman jika posisinya lebih berdekatan, demikian halnya bila ruangannya sempit atau kecil. Orang juga cenderung memilih duduk di bagian sudut daripada di tengah ruangan.
11. Dan beberapa variasi lain seperti budaya, religi dan suku/etnis.

http://alusi.wordpress.com/2008/06/20/ruang-personal/

KEPADATAN DAN KESESAKAN

KONSEP-KONSEP FENOMENA PERILAKU MANUSIA
A. KEPADATAN
Menurut Sundstrom (dalam Wringhtsman & Deaux, 1981) kepadatan adalah sejumlah manusia dalam setiap unit ruangan (Holahan, 1982; Heimstra dan McFarling, 1978; Stokols padat bila jumlah manusia pada suatu batas ruang tertentu semakin banyak dibandingkan dengan luas ruangannya (Sarwono, 1992).
Penelitian tentang kepadatan pada manusia berawal dari penelitian terhadap hewan yang dilakukan oleh John Calhoun, Penelitian Calhoun (dalam Worchel dan Cooper, 1983) ini bertujuan untuk mengetahui dampak negatif kepadatan dengan menggunakan hewan percobaan tikus, Hasil penelitian ini menunjukkan adanya perilaku kanibal pada hewan tikus seiring dengan bertambahnya jumlah tikus, Secara terinci hasil penelitian Calhoun (dalam Setiadi, 1991)menunjukkan hal sebagai berikut:
Pertama, dalam jumlah yang tidak padat( kepadatan rendah), kondisi fisik dan perilaku tikus berjalan normal, Tikus-tikus tersebut dapat melaksanakan perkawinan, membuat sarang, melahirkan,dan membesarkan anaknya seperti halnya kehidupan alamiah, Kedua, dalam kondisi kepadatan tinggi dengan pertumbuhan populasi yang tak terkendali, ternyata memberikan memberikan dampak negative terhadap tikus-tikus tersebut, Terjad penurunan fisik pada ginjal, otak, hati, dan jaringan kelenjar, serta penyimpangan perilaku seperti hiperktif,homoseksual, dan hanibal, Akibat keseluruhan dampak negative tersebut menyebabkan penurunan kesehatan dan fertilitas, sakit, mati, dan penurunan populasi,
Selain itu pengamatan yang dilakukan oleh( dalam Setiadi, 1991) terhadap jenis tikus Norwegia,menunjukan bahwa apabila jumlah kelompok telah terlalu besar (over populated)maka terjadi penyimpangan perilaku tikus-tikus itudengan menceburkan diri ke laut, Hal ini mengakibatkan oleh tidak berfungsinya otak secara wajar karena kepadatan tinggi tersebut, Tentu saja hasil penelitian terhadap hewan ini tidak dapat diterapkan pada manusia secara langsung karena manusia mempunyai akal dan norma dalam hidup bermasyarakat, Oleh karena itu, untuk penelitian kepadatan pada manusia cenderung didasarkan pada manusia cenderung didasarkan pada data sekunder yaitu data- data yang sudah ada, dari data-data tersebut diamati gejala-gejala yang sering muncul dalam masyarakat,
Penelitian terhadap manusia yang pernah dilakukan oleh Bell( dalam Setiadi, 1991) mencoba merinci: bagaimana manusia merasakan dan bereaksi terhadap kepadatan yang terjadi; bagaimana dampaknya terhadap tingkah laku social; dan bagaimana dampaknya terhadap task performance (kineja tugas)? Hasilnya memperlihatkan ternyata banyak hal-hal yang negative akibat dari kepadatan,
Pertama, ketidaknyamanan dan kecemasan, peningkatan denyut jantung dan tekanan darah, sehingga terjadi penurunan kesehatan atau peningkatan pada kelompok manusia tertentu,
Kedua, peningkatan agresivitas pada anak-anak dan orang dewasa atau enjadi sangat menurun bila kepadatan tinggi sekali, Juga kehilangan minat berkomunikasi, kerjasama , dan tolong-menolong sesama anggota kelompok.
Ketiga, terjadi penurunan ketekunan dalam pemecahan persoalan atau pekerjaan, Juga penurunan hasil kerja terutama pada pekerjaan yang menurut hasil kerja yang kompleks,
Dalam penelitian tesebut diketahui pula dampak negative kepadatan lebih berpengaruh terhadap pria atau dapat dikatakan bahwa pria lebih memiliki perasaan negative pada kepadatan tinggi bila dibandingkan dengan perempuan. Pria juga bereaksi lebih negative terhadap anggota kelompok, baik pada kepadatan tinggi ataupun rendah dan wanita justru lebih menyukai anggta kelompoknya pada kepadatan tinggi.
Pebicaraan tentang kepadatan tidak akan terlepas dari masalah kesesakan, Kesesakan merupakan persepsi individu terhadap keterbatasan ruang, sehngga lebih bersifat psikis ( Gifford, 1978: Schmidt dan Keating, 1979; Stokols dalam Holahan, 1982), Kesesakan terjadi bila mekanisme privasi individu gagal berfungsi dengan baik karena individu atau kelompok terlalu banyak berinteraksi dengan yang laen tanpa diinginkan individu tersebut.
Baum dan Paulus (1987) menerangkan bahwa proses kepadatan dapat dirasakan sebagai kesesakan atau tidak dapat ditentukan oleh penilaian individu berdasarkan empat faktor:
a. Karakteristik seting fisik
b. Karakteristik seting social
c. Karakteristik personal
d. Kemampuan beradaptasi
Berikut ini akan dibahas kategori kepadatan dan akibat-akibat kepadatan tinggi:
1. Kategori Kepadatan
Menurut Altman (1975), di dalam studi sosiologi sejak tahun 1920-an, varies indicator kepadatanberhubungan dengan tingkah laku social. Varisi indicator kepadatan itu meliputi jumlah individu dalam sebuah kota, jumlah individu pada daerah sensus,jumlah individu pada unit tempat tinggal, jumlah ruangan pada unit tempat tinggal,jumlah bangunan pada lingkungan sekitar dan lain-lain.
Kepadatan dapat dibedakan ke dalam beberapa kategori, Holahan (1982) menggolongkan kepadatan ke dalam dua kategori,yaitu kepadatan spasial yang terjadi bila besar atau luas ruangan diubah menjadi lebih kecil sedangkan jumlah individi tetep, sehingga didapatkan kepadatan meningkat sejalan menurunnya besar ruangan, dan kepadatan sosialyang terjadi bila jumlah individu ditambah tampa diiringi dengan penambahan besar atau luas ruangan sehingga didapat kepadatan meningkat sejalan dengan bertambahnya individu. Altman (1975) membagi kepadatan menjadi kepadatan dalam yaitu sejumlah individu yang berada dalam suatu ruangan atau tempat tinggal seperti kepadatan dalam rumah,kamar: dan kepadatan luar yaitu sejumlah individu yang berada pada suatu wilayah tertentu, seperti jumlah penduduk yang bermukim di suatu wilayah permukiman.
Zlutnick dan Altman menggambarkan sebuah modeldua dimensi untuk menunjukkan beberapa macam tipe linkungan permukiman, yaitu:
1. Lingkungan pinggirankota, yang ditandai dengan tingkat kepadatan luar dan kepadatan dalam yang rendah
2. Wilayah desa miskin dimana kepadatan dalam tinggi sedangkan kepadatan luar tinggi
3. Lingkungan mewah Perkotaan, diman kepadatan dalam rendah sedangkan kepadatan luar tinggi
4. Perkampungan kota yang ditandai dengan tingkat kepadatan luar dan kepadatan dalam yang tinggi.

2. Akibat- akibat Kepadatan Tinggi
Menurut Heimstra dan Mc Farling (1978) menberikan akibat bagi manusia baik secara fisik,social maupun psikis. Akibat secara fisik yaitu reaksi fisik yang didasarkan individu sepertipeningkatan detak jantung, tekanan darah, dan penyakit fisik lain.
Akibat secara psikis:
a. Stress, kepadatan tinggi dapat menumbuhkan perasaan negative, rasa cemas,stresdan perbahan suasana hati
b. Menarik diri, kepadatan tinggi menyebabkan individu cenderung untukmenarik diri dan kurang mau berinteraksi dengan lingkungan sosialnya.
c. Perilaku menolong kepadatan tinggi juga menurunkan keingina individu untuk menolong.
d. Kemampuan mengerjakan tugas, situasi dapat menurunkan kemampuan individu untuk mengerjakan tugas-tugasnya pada saat tertentu.
e. Perilaku agresi, situasi yang padat dialami individu dapat menumbuhkan frustasi dan kemarahan, serta pada akhirnya akan terbentuk perlaku agresi

B. KESESAKAN

Menurut Altman (1975) kesesakan adalah suatu proses interpersonal pada suatu tingkatan interaksi manusia satu dengan yang lainnya dalam suatu pasangan atau kelompok kecil. Perbedaan pengertian antara kesesakan dan kepadatan sebagaiman yang telah dibahas terdahulu tidaklah jelas benar, bahkan kadang-kadang keduanya memiliki pengertian yang sama dalam merefleksikan pemikiran secara fisik dari sejumlah manusia dalam suatu kesatuan ruang.
Adapun kesesakan dikatakan sebagai keadaan motivasional yang merupakan interaksi dari faktor spatial, social dan personal, dimana pengertiannya adalah persepsi individu terhadap keterbatasan ruang sehingga timbul kebutuhan akan ruang yang lebih luas. Jadi rangsangan berupa hal-hal yang berkaitan dengan keterbatasan ruang disini kemudian diartikan sebagai suatu kekurangan.
Kesimpulan yang dapat diambil adalah pada dasarnya batasan kesesakan melibatkan persepsi tentang terhadap keadaan ruang yang dikaitkan dengan kehadiran sejumlah manusia, dimana ruang yang tersedia dirasa terbatas atau jumlah manusianya yang diras selali banyak. Berikut ini akan dibahas faktor-faktor yang mempengaruhi kesesakan dandan pengaruh kesesakan terhadap perilaku.
1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesesakan
Terdapat tiga faktor yang mempengaruhi kesesakan yaitu : personal, social, dan fisik, yang akan dibahas satu persatu.
Faktor Personal. Fakltor personal terdiri dari control pribadi dan locus of control ; budaya, pengalaman, dan proses adaptasi ; serta jenis kelamin dan usia.
a. Control pribadi dan locus of control
Seligman dan kawan-kawan mengatakan bahwa kepadatan tinggi baru akan menghasilkan kesesakan apabila individu sudah tidak mempunyai control terhadap lingkungan di sekitarnya , sehingga kesesakan dapat dikurangi pengaruhnya bila individu tersebut memainkan peran control pribadi di dalamnya.
b. Budaya, pengalaman, dan proses adaptasi
Suatu penelitian yang dilakukan oleh Nasar dan min yang mencoba membandingkan kesesakan yang dialami oleh orang Asia dan orang Mediterania yang tinggal diasrama yang sama di Amerika Utara, menemukan adanya perbedaan persepsi terhadap kesesakan pada individu dengan latar belakang budaya yang berbeda, diman orang mediterania merasa lebih sesak dari pada orang Asia

Faktor Sosial, menurut Gifford (1987)secara personal individu dapat lebih banyak atau lebih sedikit mengalami kesesakan cenderung dipengaruhi oleh karakteristik yang sudah dimiliki. Akan tetapi pengaruh orang lain dalam lingkungan dapat juga memperburuk keadaan akibat kesesakan. Faktor- faktor social yang berpengaruh tersebut adalah:
a. Kehadiran dan perilaku orang lain
Kehadiran orang lain akan menimbulkan perasaan sesak apabila individu merasa terganggu dengan kehadiran orang lain.
b. Formasi koalisi
Keadaan ini didasari pada pendapat yang mengatakan bahwa meningkatnya kepadatan social akan dapat meningkatkan kesesakan.
c. Kualitas hubungan
Kesesakan menurut penelitian yang dilakukan oleh Schffer dan Patterson sangat dipengaruhi oleh seberapa baik seseorang individu dapat bergaul denghan orang lain.
d. Informasi yang tersedia
Kesesakan juga dipengaruhi oleh jumlah dan bentuk informasi yang muncul sebelum dan selama mengalami keadaan yang padat

Faktor Fisik. Gove dan Hughes (1983) menemuka bahwa kesesakan di dalam rumah berhubungan dengan faktor-faktor fisik yang berhubungan dengan kondisi rumah seperti jenis rumah, urutan lantai, ukuran rumah dan suasan sekitar rumah.

Faktor situasional terdiri dari:
a. Besarnya skala linkungan
b. Variasi arsitektural

2. Pengaruh Kesesakan terhadap Perilaku

Bila suatu lingkungan berubah menjadi sesak (crowded), sumber-sumber yang ada didalamnya pun bisa menjadi berkurang, aktifitas seseorang akan terganganggu oleh aktifitas orang lain, interaksi interpersonal yang tidak diinginkan akan mengganggu individu dalam mencapai tujuan personalnya,gangguan terhadap norma tempat dapat meningkatkan gejolak dan ketidaknyamanan serta disorganisasi keluarga, agresi penarikan diri secara psikologis dan menurunnya kualitas hidup.
Sampai sekarang ada beberapa ahli yang tetap beranggapan bahwa kesesakan tidak hanya berpengaruh negative bagi individu tetapi bisa juga berpengaruh positif.
Freedman(1975) memandang kesesakan sebagai suatu keadaan yang dapat bersifat positif maupun negative tergantung dari situasinya. Jadi kesesakan dapat dirasakan sebagai suatu pengalaman yang kadang-kadang menyenagkan dan kadang-kadang tidak menyenagkan. Bahkan dari banyak penelitiannya diperoleh kesimpulan bahwa kesesakan sama sekali tidak bepengaruh negatif terhadap objek penelitian.
Pengaruh negative kesesakan tercermin dalam bentuk penurunan-penurunan psikologis, fsiologis, dan hubungan social individu. Pengaruh psikologis yang ditimbulkan oleh kesesakan antara lain adalah perasan kurang nyaman, stress, kecemasan, suasana hati yang kurang baik, prestasi kerja dan prestasi belajar menurun, agresivitas meningkat, dan bahkan juga gangguan mental yang serius.
Individu yang berada dalam kesesakan juga akan mengalami malfungsi fisiologis seperti meningkatnya tekanan darah dan detak jantung, gejala-gejala psikosomatis, dan penyakit fisik yang serius.
Perilaku social yang sering kali timbul karena sitasi yang sesak antara lain adalah kenakalan remaja, menurunnya sikap gotong-royong dan saling membantu, penarikan diri dari lingkungan social, berkembangnya sikap acuh tak acuh, dan semakin berkembangnya intensitas hubungan social(Holahan, 1982).
Dari beberapa penelitian Baum dkk menyimpulkan bahwa kepadatan social lebih aversif daripada kepadatan ruang. Kepadatan ruang sering memunculkan masalah hanya pada laki-laki saja karena dalam situasi padat laki-laki lebih bersikap konpetitif.Kebanyakan masalh kepadatan muncul karena terlalu banyaknya orang dalam suatu ruangan dari pada masalah-masalah yang ditimbulkan karena terbatasnya ruangan.
Menurut hipotesis interaksi yang tidak diinginkan, efektif negative dari kesesakan terjadi karena dalam situasi sesak kita memenuhi lebih banyak interaksi dengan orang lain dari pada yang kita inginkan ( Baum & Valine dalam Watson dkk, 1984). Sementara menurut hipotetis kehilangan control, akibat negative dari kesesakan terjadi karena kesesakan menyebabkan kita kehilangan control selama kejadian.

http://ronggosusenoengg.blogspot.com/2010/05/kepadatan-dan-kesesakan.html

Selasa, 22 Februari 2011

AMBIENT CONDITION DAN ARCHITECTURAL FEATURES

D. AMBIENT CONDITION DAN ARCHITECTURAL FEATURES

Wrighstman dan Deaux 1981 membedakan dua bentuk kualitas lingkungan fisik:

1. Ambient Condition: yaitu segala sesuatu yang berhubunga dengan pencahayaan, filtrasi ruangan, suara, warna dari ruangan itu sendri, dan suhu.

2. Architectural Features: Yaitu segala sesuatu yang bersifat sudah ada atau trak bisa diubah, contohnya seperti adanya tembok dan lantai dalam suatu ruangan dan lain sebagainya.



Sumber Referensi:

1. Unknown, Pengantar Psikologi Lingkungan, diakses tanggal 15-Februari 2011/ pukul: 15.12, http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2011/02/pengantar-psikologi-lingkungan/

2. Unknown, Pendekatan Teori dan Metode Penelitian Psikologi Lingkungan, diakses tanggal 15-Februari 2011/ pukul 15.12, http://elearning.faqih.net/2009/12/pendekatan-teori-dan-metode-penelitian.html

3. Unknown, Bab 2 Pendekatan Teori dan Metode Penelitian Psikologi Lingkungan, diakses tanggal 15-Februari 2011/ pukul 15.12, http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/peng_psikologi_lingkungan/bab2-pendekatan_teori_dan_metode_penelitian_psikologi_lingkungan.pdf

Senin, 21 Februari 2011

Pendekatan teori psikologi lingkungan

Pendekatan psikologi lingkungan muncul sebagai protes terhadap pendekatan yang hanya memperhatikan factor-faktor individual sebagai penyebab dari munculnya masalah-masalah sosial. Selama tahun 1970-an dan awal tahun 1980-an, kontekstualisme makin diperhatikan di beberapa bidang penelitian psikologi. Para psikolog di semua bidang pemusatan utama psikologi melihat adanya kelemahan dari penelitian-penelitian yang tidak memperhatikan konteks, dan menyerukan perlunya penelitian perilaku yang lebih menggunakan pendekatan yang holistik dan memakai dasar ekologis (Stokols, 1987 dalam Stokols & Altman, 1987). Psikologi lingkungan adalah bidang psikologi yang menggabung-gabungkan dan menganalis transaksi serta tata hubungan dari pengalaman serta tindakan manusia dengan aspek-aspek dari lingkungan sosiofisiknya yang terkait.

METODE PENELITIAN PSIKOLOGI LINGKUNGAN

a. Studi Korelasi

Seorang peneliti dapat menggunakan variasi dari metode korelasi, jika seorang peneliti berminat untuk memastikan tingkat validitas eksternal yang tinggi (Veitch & Arkkelin, 1995). Studi ini menyediakan informasi tentang hubungan-hubungan atau peristiwa yang terjadi di alam nyata tanpa dipengaruhi oleh pengumpulan data. Namun sesempurna apapun suatu studi juga memiliki kelemahan. Kelemahan dari studi kasus adalah lemahnya validitas internal, berkebalikan dengan studi laboratorium yang memiliki tingkat validitas internal yang lebih tinggi, namun memliki validitas eksternal yang lebih rendah jika dibandingkan dengan studi korelasi.

b. Eksperiment Laboratorium

Jika peneliti tertarik untuk memastikan tingkat validitas internal yang tinggi, maka studi inilah yang sangat tepat (Veitch & Arkkelin, 1995). Metode ini member kebebasan kepada peneliti untuk melakuakn manipulasi secara sistematik dengan tujuan mengurangi variable-variabel yang mengganggu. Metode ini mengambil subjeknya secara random, yang berarti semua subjek memiliki kesempatan yang sama dalam semua keadaan eksperimen. Namun kelemahan dari metode ini salah satunya adalah hasil yang diperoleh di laboratorium belum pasti dapat diterpkan di luar laboratorium.

c. Eksperimen Lapangan

Metode ini adalah metode penengah antara Korekasi dengan Eksperiment Laboratorium. Asumsinya adalah jika peneliti ingin menyeimbangkan validitas internal yang didapat dalam eksperiment laboratorium dengan validitas eksternal yang didapat dari studi korelasi. Dalam metode ini peneliti tetap melakukan manipulasi sitematis, hanya bedanya peneliti juga harus member perhatian pada variable eksternal dalam suatu seting tertentu

d. Teknik-Teknik Pengukuran

Beberapa disajikan beberapa contoh tekhnik pengukuran dengan keunggulannya masing-masing, antara lain mudah dalam scoring, administrasi maupun dalam proses pembuatannya. Antara lain:

A Self-report

B Kuisioner

C Wawancara atau Interview

D Skala Penilaian

http://www.elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/peng_psikologi_lingkungan/bab2-pendekatan_teori_dan_metode_penelitian_psikologi_lingkungan.pdf
http://avin.staff.ugm.ac.id/data/jurnal/psikologilingkungan_avin.pdf
http://pdfcast.org/pdf/beberapa-teori-psikologi-lingkungan
http://elearning.faqih.net/2009/12/pendekatan-teori-dan-metode-penelitian.html

http://riantipuspaandita.wordpress.com/2011/02/15/pengantar-dan-pendekatan-teori-psikolgi-lingkungan/

Selasa, 15 Februari 2011

PENGANTAR PSIKOLOGI LINGKUNGAN

A. Latar Belakang Sejarah Psikologi Lingkungan
Kurt Lewin yang pertama kali memperkenalkan Field Theory yang merupakan salah satu langkah awal dari teori yang mempertimbangkan interaksi antara lingkungan dengan manusia. Lewin juga menhgatakan bahwa tingkah laku adalah fungsi dari kepribadian dan lingkungan, sehingga dapat diformulasikan menjadi :
T L= f(P.L),TL = tingkah laku,f = fungsi,P = pribadi,L = lingkungan
Berdasarkan rumusan tersebut, Lewin mengajukan adanya kekuatan-kekuatan yang terjadi dalam interaksi antara manusia dan lingkungan. Masing-masing komponen tersebut bergerak suatu kekuatan-kekuatan yang terjadi di dalam medan interaksi, yaitu daya tarik dan daya mendekat dan daya tolak dan daya menjauh.
Lalu pada tahun 1947, Roger Barker dan Herbert Wright memperkenalkan istilah setting perilaku untuk suatu unit ekologi kecil yang melingkupi perilaku manusia sehari-hari. Istilah psikologi arsitektur pertama kali diperkenalkan ketika diadakan konferensi pertama di Utah dan jurnal profesional pertama yang diterbitkan pada akhir tahun 1960-an banyak menggunakan istilah lingkungan dan perilaku. Baru pada tahun 1968, Harold Proshansky dan William Ittelson memperkenalkan program tingkat doktoral yang pertama dalam bidan psikologi lingkungan di CNUY (City University of New York) (Gifford, 1987).
B. Definisi Psikologi lingkungan
Psikologi lingkungan adalah ilmu kejiwaan yang mempelajari perilaku manusia berdasarkan pengaruh dari lingkungan tempat tinggalnya, baik lingkungan sosial, lingkungan binaan ataupun lingkungan alam. Dalam psikologi lingkungan juga dipelajari mengenai kebudayaan dan kearifan lokal suatu tempat dalam memandang alam semesta yang memengaruhi sikap dan mental manusia.
Apabila kebudayaan dan kearifan lokal kita pahami sebagai perjuangan manusia untuk mempertinggi kualitas hidupnya, maka mawas diri akan menjadi inti pokok dari pelajaran psikologi lingkungan. Soedjatmoko, seorang ahli sosiologi, mengungkapkan harapannya untuk mengangkat mawas diri dari tingkat moralisme semata-mata ke tingkat pengertian psikologis dan historis dan mengenai perilaku manusia. Dalam hal ini beliau memberikan pengertian tentang moralisme dan perilaku seseorang sangat dipengaruhi oleh psikologis historis suatu lingkungan, tempat orang tersebut bersosialisasi dengan masyarakat binaannya.
Sebagai contoh, tengok saja yang terjadi di zaman sekarang. Kini, banyak orang yang tinggal di dalam lingkungan baik dan religius, namun perilakunya sangat tidak mencerminkan lingkungan tempat dia tinggal. Meskipun orang tersebut sangat kenal dengan moral yang baik, belum tentu orang tersebut akan berlaku baik. Karena ternyata lingkungan sosial di zaman sekarang tidak bisa membentuk pribadi seseorang. Seseorang bisa saja tinggal dalam lingkungan pesantren yang selalu diajarkan akidah dan akhlak yang baik. Namun, sifat dasar manusia selalu penasaran dan ingin mencari kebenaran sendiri dengan mencari perbandingan sendiri.
C. Lingkup Psikologi Lingkungan
Ruang lingkup Psikologi lingkungan lebih jauh membahas tentang rancangan (design), Organisasi dan Pemaknaan. Ataupun hal yang spesifik seperti ruang, bangunan, ketetanggaan, rumah sakit dan ruangnya serta setting-setting lain pada lingkup bervariasi (Proshansky, 1974)
Jenos lingkungan di dalam sosiologi lingkungan yang beberapa di antaranya juga banyak digunakan dalam psikologi lingkungan adalah (Sarwono, 1992):
1. Lingkungan Alamiah (Natural Environment)
2. Lingkungan Binaan / Buatan (Build environment)
3. Lingkungan Sosial
4. Lingkungan yang di Modifikasi

D. Ambient Condition & Architectural Features
Hubungan dengan lingkungan fisik menurut Wrightman & Deaux terdapat 2 bentuk kualitas:
1. Ambient Condition : Kualitas fisik keadaan sekitar individu
misalnya : sound, cahaya, warna, temperatur, dsb
2.Architectural Features : mencakup setting-setting yang bersifat permanen. Suatu ruangan antara lain konfigurasi dinding, lantai, atap, serta peralatan perabotan dan dekorasi.
http://raraajah.wordpress.com/2011/02/15/pengantar-pendekatan-teori-dan-metode-psikologi-lingkungan/